Kemunculan Kriya Menggantikan Kerajinan

karya-made agus suryawan


Sebelum istilah kriya hadir di perguruan tinggi, disiplin seni yang mengajarkan ketrampilan ini disebut sebagai program Seni Kerajinan, baru setelah konsursium kurikulum seni yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kemudian munculah istilah ‘Kriya’ atau ‘Kria’ untuk menggantikan istilah ‘kerajinan’. Kriya kemudian dipakai sebagai padanan istilah ‘craft’ dalam bahasa Inggris, namun suatu yang kemudian berlaku umum istilah kerajinan sudah begitu melekat di masyarakat dan masih sering diidentikkan sebagai padanan dari istilah craft.

Seperti telah dibahas sebelumnya pengertian seni kriya secara harfiah adalah ketrampilan (skill) yang diramu dengan nilai estetika. Sedangkan wujud seni kriya dapat diklasifikasikan dari segi material/ bahan, dan bentuk/matra. Disimak dari segi material yang digunakan dapat diklasifikasikan menjadi kriya batu, kriya logam, kriya kayu, kriya bambu, kriya serat, kriya tanah (keramik), kriya tekstil. Pemisahan kriya dari segi material/bahan kemudian melahirkan disiplin minat (program studi) dalam jurusan Kriya pada perguruan tinggi seni, yaitu program studi kriya kayu, kriya tekstil, kriya logam, kriya keramik dan sebaginya di bawah naungan jurusan kriya. Sedangkan ditinjau berdasarkan bentuknya kriyaa dapat dibedakan menjadi bentuk dua dimensi (ukir, relief, lukisan) dan bentuk tiga dimensi menghasilkan karya-karya patung, dan benda-banda fungsional seperti: keris, mebel/furniture dan juga busana adat. Dari segi teknik bisa diklasifikasikan menjadi teknik pahat (ukir) atau butsir, teknik rakit, teknik cetak, teknik pilin, slabing (keramik), teknik tenun, teknik batik (tekstil), teknik anyam (bambu, rotan).

Karya kriya merupakan refleksi kebudayaan, karya kriya di Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke, yang meliputi; beragam jenis ukiran dalam rumah adat daerah, relief-relief Candi dan bangunan suci lainnya, patung primitif dari suku Asmat Papua, patung para Dewa dari Bali dan Jawa, dan sebagainya. Benda-benda pusaka seperti Keris, Arca (Bali), Busana Adat kebesaran daerah dengan pernak-perniknya semuanya merupakan benda-benda hasil seni kriya. Dalam karya kriya tercermin kegunaan bagi pemenuhan kelangsungan hidup manusia sehari-hari, identitas dan integritas sosial, serta interaksi sosial yang melibatkan orang lain dalam pembuatan dan penikmatannya, serta nilai-nilai keindahan atau pertimbangan-pertimbangan estetik yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya pendukungnya. (Tjetjep Rohendi Rohidi, 2002) Dalam penjelasan lebih lanjut yang menjadi ciri kriya adalah pada intensitas kualitas pengerjaan yang serius atau kerap disebut dengan nilai craftsmenship, yang selalu ditunjukkan oleh karya-karya kriya.

Pemisahan kriya dengan kerajinan dapat dilihat dalam hirarki antara posisi kriya dengan kerajinan pada masa kerajaan. Kriya tumbuh dalam lingkungan istana sedangkan kerajinan berada di luar istana dibuat oleh masyarakat kebanyakan. Sehingga kualitas karya yang dihasilkan dapat dibayangkan perbedaannya, kita ambil satu contoh, keris dengan pisau. Keris disamping berfungsi sebagai senjata juga diyakini mengandung kekuatan magis, dibuat dari bahan pilihan dengan teknik yang khusus menjadikan keris sebagai maha karya yang bernilai. Sedangkan pisau/parang umumnya dibuat hanya untuk dipakai sebagai alat pemotong, daging atau kayu misalnya bahannya dibuat dari besi biasa, tidak ada yang spesial dari pisau.

Jika dulu sangat mudah membedakan hirarki antara kriya dengan kerajinan, maka tidak halnya pada jaman sekarang. Jaman sekarang kriya yang kemudian diwarisi dari zaman kerajaan kini telah kehilangan posisinya yang terhormat. Karena ketika sistem kasta jaman kerajaan telah ditinggalkan digantikan dengan sistem pemerintahan modern yang disebut Negara, kriya hanya menjadi sebuah tradisi dan bahkan kini banyak yang telah kehilangan budaya pendukungnya. Kini karya kriya dengan kerajinan sangat tipis perbedaannya, karya-karya kriya tradisi sudah diproduksi dan dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Ketika kriya diproduksi tercara terus-menerus kriya telah kehilangan aura mistisnya, dengan kata lain telah mengalami demistifikasi akibat produksi masal.

Seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya kini pemisahan karya kriya dengan karya kerajinan tidaklah semudah pada jaman dulu, bisa dilihat dari segi kualitas. Kini karya yang dikategorikan kerajinan tidaklah sertamerta rendah dalam kualitas, karya (kerajinan) Indonesia yang mendapat apresiasi pasar tidak saja dalam negeri tetapi juga di eksport hingga ke luar negeri. Memiliki spesefikasi teknik dan kualitas yang tinggi baik ide dan pengerjaannya. Karya-karya yang sering dikatergorikan sebagai kerajinan dimasyarakat lebih tepat untuk disebut dengan kriya.

Jadi kehadiran kriya dimasa sekarang lebih tepat dipakai untuk menggantikan kelumrahan yang terjadi dimasyarakat, yaitu label kerajinan yang dirasakan kurang pas bagi karya-karya yang dalam pengerjaannya tidak dilandasi oleh pengulangan semata namun juga memiliki kualitas skill dan kreativitas di dalamnya. Usaha ini bisa dilihat dari ekspo kriya yang kini diselenggarakan secara rutin di Jakarta, hadirnya majalah kriya seperti oleh Dekranasda yang diketua oleh ibu Ani Yudoyono adalah salah satu upaya nyata untuk memperkenalkan dan lebih memasyarakatkan kriya di Indonesia. Namun sayang kriya di akademis justru masih terlena dengan segala ketidak jelasan posisi kriya, dan malah kerap dirundung kebingungan tentang kemana kriya harus diarahkan.

Kriya di akademis berada dalam himpitan-himpitan yang dirasa menyesakkan. Sehingga yang muncul adalah berbagai pertanyaan seperti: ketika kriya berwujud dua dimensi lalu apa bedanya dengan lukisan, apakah karena mediumnya kayu dan memakai pahat, bukankah sekarang seni lukis-pun telah melampaui material kanvas dan cat. Ketika berwujud tiga dimensi, kemudian apa bedanya dengan patung yang juga menggunaan material dan teknik sama. Namun hasil kriya bisa patung bisa saja berupa patung. Perbedaannya hanya karena seni patung mempunyai nilai historis yang berbeda dengan kriya (craft) dan mendapat pengesahan dalam lingkup seni rupa modern (fine art), sementara craft karena itu dianggap lebih rendah.

Kriya disebut lebih menekankan pada nilai craftmanship atau ketrampilannya tentu dalamnya juga ada intensi ketekukan (rajin). Tapi kriya juga enggan disamakan dengan kerajinan karena bukan hanya berdasar pada rajin semata. Bukankah dalam seni lukis dan seni patung juga mempertimbangkan ketrampilan atau kemampuan skil (craftmenship), apakah dengan begitu juga harus diberikan imbuhan kata kriya–lukis, atau kriya–patung. Persoalan-persoalan tersebut memang terasa sangat pelik dan seolah-olah tidak memberikan ruang gerak bagi kriya untuk melakukan eksplorasi. Ketika kriya ditempatkan dalam cara pandang m odernisme yang dikotomis, persoalan-persoalan tadi akan selalu membanyangi dan menempatkan kriya secara heirarkis. Walaupun dalam praktek yang berlangsung dalam seni rupa modern Indonesia dan umumnya yang terjadi di dunia ketiga, dikotomi seni modern itu sebetulnya tidak pernah sehirarkis seperti yang terjadi di Barat. Hal ini terbukti dengan tidak terlalu terusiknya kehadiran karya-karya seniman disiplin kriya dalam perkembangan seni rupa Indonesia.

Begitu juga dengan seni-seni tradisi yang tetap bisa hidup terutama dalam naungan religiusitas (Agama), adat, dan pariwisata yang merupakan salah satu faktor yang signifikan, seperti di Bali, Toraja, Yogya, Asmat Papua dan yang lainnya. Yang menjadi masalah kemudian adalah hancurnya infrastruktur dari seni tradisi tersebut, ketika paradigma seni modern datang dan diadopsi dalam institusi pendidikan tinggi seni di tanah air. Kalau disadari berada dalam ketidakjelasan dalam tanda kutif merupakan keuntungan tersendiri bagi kriya, karena dengan dasar ketrampilan dan kepekaan mengolah material kriya bisa hadir dalam berbagai wujud dua dimensi, tiga dimensi, bisa sepenuhnya fure art (murni) atau aplleid art (terapan) tidak ada persoalan asal kualitas tetap dipertahankan. Menurut hemat penulis kriya kini lahir dalam bentuknya yang “hibrid” dan sudah seharusnya terus eksis karena kriya sesungguhnya adalah produk budaya dan budaya akan terus berkembang begitu juga kriya akan senantiasa bergerak melintasi waktu dan jaman.

Persoalan Kriya Akademis

Persoalan kriya Akademis di Indonesia justru berada dalam ketegangan dengan kerajinan, karena sedari awal kriya enggan disamakan dengan kerajinan dan menyatakan diri berada pada posisi yang lebih tinggi dari kerajinan. Hal ini bisa dilihat dari kedudukan kriya di masa lalu merupakan bagian dari budaya istana sedang kerajinan merupakan budaya rakyat jelata. Himpitan dengan kerajinan inilah yang menjadikan kriya berusaha terus membedakan diri dengan kerajinan. Seni kerajinan berkembang sejalan dengan perkembangan industri pariwisata yang menjadikan budaya dan produk budaya sebagai komoditi utama.

Jika diilihat pada masa sekarang ini sulit sekali membedakan secara tegas antara kriya dan kerajinan, beda hal nya pada masa lalu. Karya yang dikategorikan kerajinan sekarang ini justru adalah karya-karya kriya dari masa lalu seperti; relief, patung, wayang, batik, keris dan sebagian besar karya tradisional dari berbagai wilayah di Indonesia. Masalahnya kini karya-karya tersebut direproduksi secara masal karena menjadi komoditas pasar pariwisata budaya.

Situasi inilah yang menjadikan kriya yang tumbuh di akademis ingin memposisikan kriya tetap berbeda dari benda-benda kerajinan tersebut, walaupun senyatanya benda-benda tersebut adalah karya kriya dari masa lalu. Mereka enggan menjadikan kriya berada dalam mekanisme produksi seni yang kemudian disebut sebagai kerajinan karena hanya melayani kepentingan pasar semata.

Kecurigaan pertama adalah jika karya kriya diproduksi secara masal maka akan terjadi penurunan kualitas karena hanya mengejar produksi dari pesanan dan sekaligus merendahkan posisi kriya. Walaupun analisis ini tidak sepenuhnya benar, kita ambil saja contoh karya relief-relief Bali atau Jepara karya-karya tersebut kerap dikategorikan kerajinan. Akan tetapi kalau diperhatikan dari bentuknya yang rumit dan menjelimet dan teknik pengerjaan menampilkan kualitas skill dan kepekaan artistik yang tinggi. Apakah karya-karya tersebut layak disebut sebagai kerajinan, karya itu jelas-jelas adalah karya kriya itu sendiri. Kalaupun karya tersebut dibuat lebih dari satu jelas akan diproduksi secara terbatas, karena pembuatanya memerlukan ketekunan, penguasaan teknik yang tinggi dan tentunya juga membutuhkan waktu yang sangat lama. Kualitas tetap faktor yang sangat penting dalam karya tersebut.

No comments:

Post a Comment